Selasa, 29 Desember 2009

review buku : “MONEY POLITICS – Pengaruh Uang Dalam Pemilu”


Dalam buku yang ditulis oleh Indra Ismawan, “Money Politics - pengaruh uang dalam Pemilu” mengatakan bahwa money politics disebabkan karena adanya budaya korupsi yang menjamur. Budaya korup telah lama berkembang di Indonesia dengan alih-alih pengendalian perekonomian yang mana terdapat distribusi proyek, fasilitas dan konsesi kekayaan alam yang tentu saja semuanya bersandar pada tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan masih banyak lagi patern-patern yang ada di masyarakat terutama dalam hal birokratisasi. Selalu saja ada alasan untuk mengeluarkan uang/ barang sebagai penukar jasa, keuntungan atau yang lebih konkretnya lagi adalah pemaksaan untuk kondisi yang diinginkan dengan maksud untuk mencapai tujuan. Situasi ini telah menjamur lama karena diwariskan pula pada jaman sekarang. Akibat situasi korupsi yang telah menjadi kultur inilah yang menyebabkan money politics kini dilakukan secara terang-terangan. Pengaruh kondisi yang demikian menyebabkan adanya pandangan bahwa money politics adalah given atau menjadi way of life dalam system masyarakat.
Banyak peristiwa yang dijelaskan dalam buku setebal 82 halaman ini, dimulai dari situasi luar negeri sampai dalam negeri. Tetapi yang penting adalah modus dibalik itu semua. Modus-modus tersebut diantaranya adalah; serangan fajar yang dilakukan salah satu konstentan Pemilu yang tentunya dengan maksud menggiring suara pemilih pada salah satu calon kandidat. Hal ini sama persis yang dilakukan di Maroko pada pemili 1963 dimana Pemilihan “dibeli” dengan Gandum yang dibagi-bagikan, tentu saja Pemilu menjadi sangat tidak Kompetitif. Modus kedua adalah political seduction (bujukan politik) yang bentuknya adalah pemberian uang dengan maksud untuk mengontrol proses penentuan caleg, pemungutan dan penghitungan suara bahkan penetapan hasil pemilu. Ketiga adalah sumbangan kas dinas dengan bentuk penggunaan kas atau fasilitas dinas untuk urusan ke-partai-an. Modus ke-empat, mobilisasi dana Pemilu melalui bentuk “sumbangan paksa” dari pengusaha untuk partai tertentu dengan ancaman kontak kerja usaha. Dan banyak lagi modus modus lainnya seperti sumbangan diskriminatif pada salah satu Partai sehingga hanya partai itulah yang dapat menyelenggarakan Kampanye yang spektakuler, kemudian pembagian amplop menjelang hari H Pemilu dengan embel-embel pesan mencoblos partai tertentu, kemudian sumbangan sesuka hati yang tidak terbatas sebagai dukungan kas partai politik peserta pemilu, dan konsolidasi dana melalui bisnis usaha partai yang berkedok di balik nama Yayasan.
Sebagai konteks warisan masa lalu, budaya money politics ternyata juga melahirkan konteks simbiosis mutualisme. Setidaknya hal itulah yang berusaha disampaikan penulis bahwa adanya money politics memang telah menjadi kebutuhan. Dalam hal ini kedua kubu adalah Partai Politik dan Pengusaha. Money politics digunakan sebagai alat untuk mempertemukan dua kepentingan, dimana saru sisi Partai politik membutuhkan akses kemenangan partai dan disisi lainnya adalah Pengusaha yang membutuhkan akses untuk menjalankan bisnisnya. Dari Pandangan parpol, Pengusaha dianggap sebagai sasaran empuk untuk mendapatkan dana segar, dimana secara logis memang tidak berimbang apabila misi kemenangan Partai yang besar tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas sebagai alat kampanye partai. Hal inilah yang mendorong partai untuk proaktif mencari dana sebagai penmenuhan budget operasional partai. Kemudian sama halnya dengan pihak pengusaha. Pengusaha mencari securitas dari parpol terkuat untuk mengamankan jalannya bisnis mereka dari persaingan pasar. Dilihat dari kondisi demikian maka jelas Partai politik dan pengusahalah yang mendapatkan keuntungan dan kenyamanan, tetapi apabila dipertahankan situasi demikian maka hak-hak rakyat menjadi terabaikan dan sistem birokratisasi menjadi tidak terkontrol.
Sang penulis buku Indra ismawan, berasumsi bahwa money politik sama dengan pembiasan Demokratisasi. Hal-hal illegal dalam menggunakan uang untuk ke-partaian dianggap sebagai penghancuran demokrasi. Money politik adalah tindakan tidak amanah yang tentu saja membuat esensi berdirinya partai politik menjadi bias. Partai politik seharusnya menjadi tulang punggung rakyat dan sebagai intrumen demokrasi, bukan berarti menyalahi ketentuan hak-hak rakyat. Untuk itulah indra Ismawan menyimpulkan bahwa pentingnya pemberantasan money politic dan terutama dalam dalam korupsi itu sendiri yang mana menjadi embrio lahirnya money politics.

-dimas

Judul Buku : “MONEY POLITICS – Pengaruh Uang Dalam Pemilu”
Penulis : Indra Ismawan
Penerbit : Media Pressindo, Yoyakarta, 1999

Partai Politik ala Ramlan Surbakti


Dalam buku memahami ilmu politik karya Ramlan Surbakti (1992), partai politik dijelaskan seperti memiliki fungsi yang mana berkaitan penting dengan sejarah negara. Dikatakan demikian karena partai memiliki ideologi yang terus dipertahankan sehingga program yang disusun juga ikut dipertimbangan sebagai tawaran kekuasaan. Dengan demikian maka program program yang dijalankan nantinya, terlebih setelah melalui proses pemenangan, maka sudah tentu akan menjadi prioritas bagi jalannya kepemerintahan negara.

Secara garis besar Ramlan Surbakti menjelaskan bahwa fungsi partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Namun beberapa diantaranya juga melengkapi funsi yang lain seperti; sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, dan control politik.

Demi menjaga kredibilitas paratai politik, maka dilakukanlah proses yang disebut sebagai sosialisasi politik. Sosialisasi politik dilakukan untuk membentuk sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Selain sosialisasi politik dalam partai politik juga dilakukan rekruitmen politik. Rekruitmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Kemudian setelahnya ada partisipasi politik yang diharapkan fungsinya sebagai wujud ketaatan dari warga negara. Dalam partai juga memiliki dilema atas suara anggota masyarakat yang mana diselesaikan dengan cara menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan. Cara yang dilakukan juga sebagai alternative untuk merumuskan kebijakan umum, dan pembuatan serta pelaksanaan keputusan politik ini disebut dengan pemadu kepentingan.

Ramlan surbakti juga menuliskan dalam bukunya bahwa partai ada karena digunakan sebagai komunikator politik. Hal ini disebut dengan komunikasi politik. Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

Dan hal yang paling berkaitan dengan penelitian ini adalah pengendalian konflik dan control politik yang dituliskan dalam buku memahami ilmu politik ini. Sebagai perantara aspirasi masyarakat seharusnya sudah menjadi tanggung jawab partai untuk memberikan kenyamanan atas jaminan walaupun dalam situasi konflik sekalipun. Yang dimaksudkan ikut bertanggung jawab disini adalah dengan cara berdialog dengan pihak pihak yang berkonflik, merampungkan dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik. Kemudian control politik. Control politik dijelaskan sebagai kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

intisari dari buku: memahami ilmu politik, Ramlan Surbakti
dimas adit

satu kesempatan menjadi mahasiswa

hanya yang menjadi mahasiswa yang bisa merasakan atmosfir akademik yang proporsional. karena "maha" adalah diatas segala tingkatan siswa. tapi realitas yang ada peran mahasiswa semakin surut hanya karena perkembangan negara yang ramai dan ter-substansi dengan sendirinya, artinya, saat situasi dan kondisi dimana pemerintah dan rakyat ter-expose akibat kasus, bencana, atau kesalahan sosial, maka barulah muncul suara mahasiswa. tapi bagaimana dengan sekarang, dimana banyak permasalahan negara, pemerintah dan rakyat semakin sulit di rangkum menjadi satu. semua menjadi terpecah seakan-akan memiliki pola dan basis yang berbeda-beda. hal ini tentu memecah konsentrasi mahasiswa dan pada akhirnya mahasiswa kini tidak hanya lebih dari sekedar pencari nilai, pemburu title, yang hanya datang, kuliah, menulis, membaca, lalu pulang dan mengerjakan tugas makalah-makalah. tidak ada yang salah dengan ini, bahkan kampus dianggap jenjang setelah sekolah menengah saja pun tidak jadi soal. yang menjadi persoalan adalah, sekarang pragmatisme kampus di mata masyarakat adalah menjadi keharusan untuk kepentingan masa depan seseorang. artinya, kampus menjadi tren dari institusi yang menjual ke-sarjanaan untuk nantinya di obral kepada perusahaan-perusahaan. lalu bagaimana bila satu contoh ribuan orang memburu kampus, maka jelas yang muncul adalah ribuan sarjana mencari kerja, dan ribuan pekerjaan harus siap menampung mereka. lalu bagaimana dengan pembuat lapangan pekerjaan ? apakah mereka juga lulusan kampus ?

lalu menurut anda ?

jawaban ada di tangan anda, karena realitas di sekitar anda-lah yang bisa anda ambil sebagai renungan. terutama untuk anda yang mengaku sebagai mahasiswa, jangan biarkan idealisme menjadi makanan, tapi juga jangan idealisme harus ditekan. seimbangkan antara pengetahuan, pemahaman, serta penerapan. jangan sampai anda sama dengan orang-orang yang bukan sarjana. karna kalau sampai hidup anda dan apa yang anda lakukan tidak lebih sama dengan orang-orang bukan sarjana, maka copot saja almamater anda lalu berikanlah pada anak muda di pinggir jalan yang ingin kuliah.

satu kesempatan menjadi mahasiswa.
dimas